Mendukung Perubahan sambil berharap “Dana Aspirasi”? Ya nggak ketemu.
Oleh : Abdullah Sungkar, ST.,MT
Berita Merdeka – Justru praktek Clientelism and Patronage ini yang harus dihilangkan sebagai bagian dari Perubahan.
Apakah Clientelism? Clientelism is a political system based on personal relations rather than personal merits.
Klientelisme merupakan sistem politik berdasarkan koneksi pribadi, bukan berdasarkan kompetisi yang sehat dan kompetensi calon.
Pada sistem politik semacam ini para birokrat Pemerintah/Daerah mengalah untuk kompromi dengan Dewan/Legislatif, bahwa program kegiatan proyek mereka seakan-akan program anggota dewan yang ingin duduk kembali di kursi dewan.
Caranya, dengan claim kegiatan pembangunan jalan, drainasi, bantuan untuk siswa dan sekolah, hibah dan bantuan organisasi dll, untuk kampanye sebagai “Aspirasi” yang diperjuangkan.
POKIR, merupakan bentuk politik clientelism dan patronage yang menominalkan aspirasi rakyat menjadi mata anggaran dalam APBN dan APBD.
Apa untungnya bagi Birokrat Pemerintah dan Pemerintah Daerah ? Fungsi Pengawasan Legislatif hilang karena sudah bargaining dalam proses pembahasan Anggaran. Seorang Kepala Daerah secara terbuka dalam sebuah diskusi publik dengan santai komentari hal ini dengan kalimat pendek, “Ya bargaining yaa…”, sambil tertawa.
Bayangkan, berapa Triliyun rupiah APBN dan APBD untuk fasilitasi para Anggota Legislatif incumbent ini dengan praktek Clientelism ini agar mereka terpilih kembali.
Inilah penilaian orang Barat tentang praktek politik di Indonesia. Sungguh memalukan. Di sebuah negara demokrasi yang sebenarnya, parpol sangat powerful mengusai kandidat atau calegnya.
Tapi di Indonesia berbeda, parpol menjadi institusi marginal bagi kandidatnya sendiri. Peran parpol tergantikan oleh Tim Sukses yang direkrut acak oleh caleg/kandidat Pilkada, tidak harus kader.
Tim Sukses menjalankan praktek brokerage alias calo money politic, dan mereka direkrut dan dibayar karena dianggap bisa mempengaruhi masyarakat untuk memberikan suara dengan imbalan. Bagi elite tokoh masyarakat, maka imbalannya sumbangan untuk organisasinya.
Kandidat incumbent lebih leluasa, karena hibah atau diskresi dari belanja negara dapat mendukung kampanye sepanjang waktu. Bagi pemilih akar rumput paling efektif bagi duit via tangan Tim Sukses.
Nah, ingin tahu apa sebutan orang asing tentang institusi partai yang dimarginalkan peran politiknya oleh kandidat yang mereka usung di pilkada/Pileg ? Freewheeling Clientelism, alias Robinhood gaya bebas.
Dana Aspirasi (Aspiration Funds) atau istilah lain penggantinya, tujuannya pada “targeted communities” (target komuitas pemilih). Dampaknya bargaining anggaran antara eksekutif-legislatif tak terhindarkan. Lebih tepat disebut persekongkolan dari pada musyawarah.
Jadi jangan heran kalau RAPBD yang diajukan eksekutif lancar, asal “proposal” dari legislatif juga lancar. Kampanye gratis jabatan berulang atas biaya negara.
Bukti? Tentu sulit didapat, karena bentuknya “unstated political aim” (tujuan politik tidak tertulis). Kalau sudah begini, jadi tidak jelas lagi siapa awasi siapa. Anda ingin membiarkan, atau Anda ingin menjadi bagian dari perubahan praktek politik yang memalukan ini ?
(Kota Tegal,16 Juli 2024, Penulis, Anggota DPRD Kota Tegal periode 1999 – 2004 dan periode 2009 – 2014). ***