
Beritamerdeka.co.id – Tragedi 12 Mei 1998 merupakan salah satu peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia yang terjadi di tengah pergolakan politik dan sosial menjelang runtuhnya rezim Orde Baru. Peristiwa ini menandai titik balik perjuangan mahasiswa dan masyarakat dalam menuntut reformasi dan demokratisasi di tanah air.
Salah satu insiden paling tragis terjadi di Universitas Trisakti, Jakarta, di mana empat mahasiswa tewas tertembak oleh aparat keamanan saat melakukan aksi damai.
Dilatarbelakangi karena krisis ekonomi Asia yang dimulai pada 1997 berdampak besar terhadap Indonesia. Nilai rupiah merosot tajam, harga kebutuhan pokok melonjak, dan tingkat pengangguran meningkat drastis. Kondisi ini menimbulkan keresahan sosial yang meluas, terutama di kalangan mahasiswa dan rakyat kecil.
Pada 12 Mei 1998, ribuan mahasiswa dan masyarakat melakukan aksi damai menuntut Presiden Soeharto mundur dan diadakannya reformasi total. Aksi tersebut awalnya berjalan tertib. Namun, ketika massa mulai membubarkan diri pada sore hari, aparat keamanan yang terdiri dari gabungan TNI dan Polri mulai melepaskan tembakan ke arah mahasiswa.
Empat mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Hery Hartanto tewas akibat tembakan peluru tajam. Puluhan lainnya luka-luka. Peristiwa ini menyulut kemarahan publik secara luas dan memicu aksi demonstrasi yang lebih besar di seluruh negeri.
Tragedi Trisakti menjadi pemicu utama gelombang protes yang lebih masif, disertai kerusuhan sosial besar di Jakarta dan berbagai kota lain. Dalam waktu kurang dari dua minggu setelah insiden tersebut, tepatnya pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya setelah 32 tahun berkuasa.
Peristiwa ini juga menjadi tonggak awal reformasi di Indonesia, yang melahirkan sejumlah perubahan besar dalam sistem politik, hukum, dan pemerintahan. Namun, hingga hari ini, keluarga korban dan masyarakat masih menuntut keadilan. Pelaku penembakan belum diadili secara tuntas, dan peristiwa tersebut masih menyisakan luka mendalam dalam ingatan kolektif bangsa.
Tragedi 12 Mei 1998 bukan sekadar peristiwa berdarah, melainkan simbol perjuangan dan pengorbanan demi perubahan. Keberanian mahasiswa dan para demonstran patut dikenang sebagai bagian dari perjalanan panjang bangsa menuju demokrasi. Namun, keadilan yang belum ditegakkan tetap menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai.
Dan sangat disayangkan hingga saat ini, perjuangan reformasi dianggap gagal, karena perubahan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia justru semakin rumit. Para elit politik saling mencari keuntungan sendiri sehingga rakyat menjadi korban.***