
Beritamerdeka.co.id – Hukum adalah fondasi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia dirancang untuk menjamin keadilan, menjaga ketertiban, dan melindungi hak-hak setiap individu tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau politik. Namun, pada kenyataannya di masyarakat sering kali memperlihatkan gambaran yang jauh dari harapan.
Ketimpangan dalam penerapan hukum di Indonesia menjadi sorotan yang tak kunjung redup, memperlihatkan bahwa hukum belum sepenuhnya berdiri tegak di atas keadilan, hanya sebatas teori.
Hukum di Indonesia kerap kali menunjukkan wajah yang timpang, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan perbedaan status sosial dan ekonomi. Ketimpangan dalam penegakan hukum bukan hanya menjadi isu keadilan, tetapi juga mencerminkan krisis kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
Salah satu contoh nyata adalah bagaimana hukum cenderung “tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Seorang warga miskin yang mencuri karena lapar bisa dijatuhi hukuman penjara, sementara pelaku korupsi miliaran bahkan triliunan rupiah bisa mendapat potongan hukuman atau fasilitas mewah di dalam lembaga pemasyarakatan. Fenomena ini menunjukkan adanya bias struktural yang menguntungkan kelompok tertentu.
Masalah lain adalah kriminalisasi terhadap masyarakat kecil, seperti petani atau nelayan, yang terjerat hukum karena melindungi lahan atau mata pencaharian mereka. Sementara itu, pelanggaran lingkungan oleh perusahaan besar sering kali diselesaikan secara administratif tanpa proses hukum yang tegas.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya menjadi alat penegak keadilan, tetapi juga bisa dijadikan alat represi ketika kekuasaan dan kepentingan ekonomi bermain di balik layar. Ketika masyarakat yang berjuang mempertahankan hidup justru dijadikan tersangka, kita perlu bertanya ulang “untuk siapa sebenarnya hukum ditegakkan?”
Masalah ketimpangan hukum ini tentu tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Diperlukan reformasi sistem hukum secara menyeluruh, dari aparat penegak hukum yang bebas dari intervensi politik dan ekonomi, hingga pengadilan yang benar-benar independen. Selain itu, perlu ada pendidikan hukum yang lebih merata agar masyarakat memahami hak-haknya dan tidak mudah dikriminalisasi.
Ketimpangan ini berkontribusi besar terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum. Lembaga-lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan sering dipersepsikan tidak independen dan mudah diintervensi oleh kekuasaan atau uang. Persepsi ini berdampak luas, bukan hanya terhadap legitimasi sistem hukum itu sendiri, tetapi juga terhadap stabilitas sosial dan politik.
Keadilan bukan sekadar produk hukum, tapi juga cerminan moralitas bangsa. Ketika hukum hanya berpihak kepada yang kuat, maka kepercayaan publik akan runtuh, dan pada akhirnya, hukum kehilangan maknanya sebagai alat keadilan sosial. (Ade Windiarto).***