Refleksi Hari Pramuka ke-64
Pembinaan Pramuka yang Melenceng: Dari Gerakan Pembentuk Karakter Menjadi Formalitas Seremonial
Beritamerdeka.co.id – Gerakan Pramuka di Indonesia sejak awal berdirinya memiliki misi mulia, yakni membentuk generasi muda yang berkarakter, disiplin, mandiri, dan berjiwa sosial tinggi.
Dengan prinsip Trisatya dan Darma Pramuka, gerakan ini seharusnya menjadi wadah pendidikan nonformal yang menanamkan nilai kebangsaan, kepemimpinan, serta keterampilan hidup. Namun, di lapangan, tak sedikit praktik pembinaan yang justru melenceng jauh dari tujuan tersebut.
1. Formalitas dan Seremonial yang Berlebihan
Banyak kegiatan Pramuka di sekolah kini hanya sebatas rutinitas wajib tiap Jumat atau Sabtu. Latihan diisi dengan apel panjang, baris-berbaris, dan serangkaian seremoni yang kaku. Unsur pembelajaran keterampilan dan nilai-nilai kebersamaan sering terpinggirkan. Pramuka berubah menjadi kewajiban administratif, bukan pengalaman mendidik yang membekas.
2. Pembina Minim Kompetensi dan Motivasi
Tak sedikit pembina yang ditunjuk sekadar untuk memenuhi struktur organisasi sekolah, tanpa pembekalan memadai. Akibatnya, pembinaan dilakukan seadanya, bahkan terkadang hanya menyerahkan kegiatan kepada siswa senior. Hal ini membuat materi yang diajarkan dangkal, tidak variatif, dan membosankan bagi peserta didik.
3. Kegiatan Berorientasi Lomba, Bukan Pembentukan Karakter
Event Pramuka kini kerap fokus pada kompetisi atau prestise kejuaraan. Latihan diarahkan semata-mata untuk menang lomba, bukan untuk membekali peserta dengan keterampilan hidup atau nilai moral. Sementara anak-anak yang tidak terlibat lomba merasa terpinggirkan, padahal pembinaan seharusnya merangkul semua anggota.
4. Penyalahgunaan Wewenang dan Kekerasan Terselubung
Di beberapa kasus, terjadi tindakan indisipliner oleh senior atau pembina, mulai dari perundungan (bullying), hukuman fisik yang berlebihan, hingga pemanfaatan peserta untuk pekerjaan di luar konteks kegiatan Pramuka. Praktik seperti ini jelas mencederai nilai-nilai Pramuka yang mengutamakan saling menghargai, melindungi yang lemah, dan menumbuhkan rasa persaudaraan.
5. Kurangnya Adaptasi dengan Zaman
Di era digital, materi dan metode pembinaan Pramuka sering kali stagnan. Keterampilan yang diajarkan tidak mengikuti perkembangan zaman, sehingga kurang relevan dengan kebutuhan generasi muda saat ini. Misalnya, minimnya integrasi teknologi, kewirausahaan, atau literasi digital dalam kegiatan.
Menuju Pembinaan Pramuka yang Kembali ke Khitah
Perlu evaluasi menyeluruh agar pembinaan Pramuka kembali pada esensinya, pendidikan karakter berbasis pengalaman, keterampilan hidup, dan cinta tanah air. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
Meningkatkan pelatihan dan sertifikasi pembina agar memiliki kompetensi pedagogis dan teknis memadai.
Memperbarui kurikulum kegiatan agar relevan dengan tantangan zaman, termasuk aspek teknologi dan kreativitas.
Memastikan pembinaan bebas dari kekerasan dan penyalahgunaan wewenang melalui mekanisme pengawasan yang tegas.
Mengembalikan semangat kebersamaan dengan mengedepankan kegiatan inklusif, bukan hanya untuk kepentingan lomba atau prestise.
Jika tidak segera dibenahi, gerakan yang dulu menjadi kebanggaan generasi muda ini bisa kehilangan maknanya, terjebak menjadi simbol kosong tanpa ruh pendidikan sejati. Pramuka seharusnya bukan sekadar seragam dan atribut, tetapi teladan hidup bagi generasi penerus bangsa.***