
Refleksi May Day 2025:
Perlawanan di Tengah Ancaman AI
Oleh: M. Shafei Pahlevie (Ketua DPC Sarbumusi Kabupaten Tegal)
Beritamerdeka.co.id – Setiap tahun, May Day menjadi momen penting untuk merefleksikan nasib pekerja di tengah perubahan global. Di tahun 2025, tantangan terbesar yang dihadapi kaum buruh adalah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang mengubah wajah dunia kerja. Di satu sisi, AI menawarkan efisiensi dan inovasi, tetapi di sisi lain, ancaman disrupsi lapangan kerja semakin nyata. Lantas, bagaimana masa depan buruh di era kemajuan teknologi ini?
Teknologi AI telah merambah berbagai sektor, mulai dari manufaktur, jasa, hingga kreatif. Robot dan algoritma canggih kini mampu menggantikan pekerjaan yang sebelumnya dilakukan manusia, seperti analisis data, customer service, bahkan penulisan konten. Menurut laporan World Economic Forum (2024), sekitar 25% pekerjaan global akan mengalami transformasi signifikan akibat otomatisasi dalam lima tahun ke depan.
Di Indonesia, dampaknya mulai terasa. Industri tekstil, perbankan, dan logistik mulai mengadopsi AI untuk meningkatkan produktivitas. Namun, hal ini berpotensi meminggirkan tenaga kerja dengan keterampilan rendah. Jika tidak diantisipasi, gelombang pengangguran struktural bisa melanda, memperlebar ketimpangan sosial.
Meski menghadirkan tantangan, AI juga membuka peluang lapangan kerja baru. Pekerjaan di bidang data science, pemrograman AI, dan pengelolaan sistem digital semakin dibutuhkan. Persoalannya, apakah tenaga kerja Indonesia siap beralih ke pekerjaan-pekerjaan berbasis teknologi ini?
Di sinilah peran pemerintah, perusahaan, dan institusi pendidikan sangat penting. Program upskilling dan reskilling harus dipercepat agar buruh dapat beradaptasi dengan tuntutan era digital. Pelatihan coding, analisis data, dan literasi AI perlu menjadi prioritas. Selain itu, kurikulum pendidikan juga harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri masa depan.
May Day 2025 harus menjadi pengingat bahwa kemajuan teknologi tidak boleh mengorbankan hak-hak buruh. Pemerintah perlu merancang regulasi yang melindungi pekerja dari pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat otomatisasi. Skema jaminan sosial, seperti universal basic income (UBI) atau tunjangan pelatihan, bisa menjadi solusi sementara bagi pekerja yang terdampak.
Selain itu, perusahaan harus bertanggung jawab dalam transisi teknologi. Alih-alih langsung mengganti manusia dengan mesin, perlu ada mekanisme just transition—memastikan pekerja mendapat pelatihan dan penempatan kembali sebelum otomatisasi sepenuhnya diterapkan.
Di tingkat global, serikat buruh harus bersatu menghadapi disrupsi AI. Gerakan pekerja tidak lagi hanya tentang upah dan jam kerja, tetapi juga tentang kepemilikan data, privasi, dan kontrol terhadap teknologi. May Day di era digital harus menjadi momentum untuk memperjuangkan hak-hak baru, seperti digital rights bagi pekerja.
May Day 2025 hadir di tengah bayang-bayang disrupsi teknologi AI yang kian mengubah dunia kerja. Otomatisasi dan kecerdasan buatan tidak hanya menciptakan efisiensi, tetapi juga ketidakpastian: lapangan pekerjaan menyusut, hak buruh terancam, dan kesenjangan makin melebar. Di tengah gelombang ini, semangat May Day mengingatkan kita bahwa perjuangan buruh bukan lagi hanya melawan eksploitasi manusia oleh manusia, tetapi juga perlawanan terhadap sistem yang mengorbankan kemanusiaan demi kemajuan teknologi.
Tantangannya adalah memastikan AI menjadi alat emansipasi—bukan penindas baru. Serikat buruh harus beradaptasi, memperjuangkan regulasi yang melindungi pekerja, serta transisi adil bagi yang terdampak. Solidaritas kolektif, advokasi kebijakan pro-buruh, dan penguasaan literasi digital menjadi senjata baru. Sebab, di era mesin cerdas, martabat manusia harus tetap tak tergantikan.
Kemajuan AI tidak harus berarti kematian bagi kaum buruh, asalkan ada kebijakan inklusif yang memastikan manfaatnya dirasakan semua pihak. Di May Day 2025, mari kita desak agar teknologi hadir bukan sebagai alat eksploitasi, tetapi sebagai sarana memajukan kesejahteraan pekerja. “Teknologi boleh maju, tetapi hak-hak pekerja tidak boleh mundur!”***