Jika Wartawan Terkena PHK
Oleh: M. Shafei Pahlevie (Ketua Sarbumusi Kabupaten Tegal dan Wartawan Senior)
Beritamerdeka.co.id – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masif belakangan ini melanda berbagai sektor industri di Indonesia, termasuk dunia media. Tak hanya media konvensional seperti koran dan majalah, perusahaan media digital—mulai dari televisi hingga situs berita online—juga tak luput dari fenomena ini. Situasi ini memantik pertanyaan kritis: Bagaimana jika wartawan menjadi korban PHK?
Antara Profesi dan Status Ketenagakerjaan
Saat menanyakan kabar sejumlah rekan wartawan via WhatsApp, sebagian besar menjawab bahwa posisi mereka “masih aman” dari ancaman PHK. Namun, saya segera tersadar: pertanyaan itu sendiri mungkin keliru. Sebab, wartawan adalah profesi, bukan sekadar “pekerja” atau “buruh”—meski julukan “kuli tinta” kerap melekat pada mereka.
Perbedaannya jelas. Jarang kita dengar wartawan bergabung dengan serikat buruh seperti SPSI, SPN, atau Sarbumusi. Mereka memiliki organisasi profesi sendiri, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), atau Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Lalu, siapakah yang termasuk “pekerja media”? Mungkin mereka yang bekerja di belakang layar: teknisi, operator, editor, atau pembaca berita. Sementara wartawan—yang bertugas mencari, mengolah, dan menulis berita—berada dalam ranah profesi, setara dengan dokter, pengacara, atau insinyur.
Payung Hukum: UU Pers vs. UU Ketenagakerjaan
Jika wartawan adalah profesi, apakah relasi mereka dengan perusahaan media tunduk pada UU Ketenagakerjaan? Jawabannya tidak sederhana. Secara legal, wartawan dilindungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Namun, banyak perusahaan media mempekerjakan wartawan dalam bentuk kontributor atau koresponden—status yang kerap ambigu.
Ini memunculkan paradoks:
1. Hubungan Industrial: Jika wartawan dipekerjakan sebagai karyawan tetap, mereka seharusnya mendapat hak sesuai UU Ketenagakerjaan (upah, THR, jaminan sosial). Namun, banyak yang justru dikontrak tanpa perlindungan jelas.
2. Status Kontributor: Banyak wartawan lepas (freelance) yang hanya dibayar per tulisan atau liputan, tanpa tunjangan kesehatan atau jaminan pensiun. Mereka bukan “buruh”, tapi juga tidak sepenuhnya mandiri seperti profesional lain (misalnya pengacara yang membuka firma).
Tantangan dan Perlindungan yang Hilang
Fakta di lapangan menunjukkan, wartawan—terutama yang berstatus kontributor—sering terjebak dalam kerentanan ekonomi. Mereka mungkin bangga disebut “bukan buruh”, tetapi di sisi lain, hak-hak dasar ketenagakerjaan kerap tak terpenuhi. Misalnya:
– Upah di bawah standar UMR, dengan alasan “honorarium profesi”.
– Tidak ada BPJS Ketenagakerjaan atau Kesehatan, karena statusnya dianggap “mitra”, bukan karyawan.
– Risiko PHK tanpa pesangon, sebab hubungan kerja dianggap berbasis proyek.
Padahal, UU Pers menjamin kemandirian wartawan, tetapi tidak secara eksplisit mengatur perlindungan sosial-ekonominya. Di sinilah peran organisasi profesi seperti PWI atau AJI seharusnya hadir—tidak hanya sebagai penjaga etik, tetapi juga advokat untuk kesejahteraan anggota.
Lantas, Bagaimana Jika Wartawan Kena PHK?
Pertanyaan ini menggelitik untuk direnungkan:
– Jika wartawan adalah profesi mandiri, PHK seharusnya tidak berlaku—karena mereka “mitra”, bukan karyawan. Namun, realitasnya banyak yang tergantung pada satu perusahaan media.
– Jika wartawan adalah pekerja , mengapa perlindungannya tidak setara dengan buruh pada umumnya?
Mungkin sudah waktunya organisasi profesi jurnalis dan pemerintah duduk bersama merumuskan skema perlindungan khusus untuk wartawan. Misalnya, dengan memperkuat peran Dewan Pers dalam mengawasi hubungan wartawan-perusahaan media atau merancang skema asuransi mandiri untuk jurnalis lepas.
Penutup
Wartawan memang bukan “buruh”, tetapi mereka juga bukan robot yang bisa bekerja tanpa jaminan hidup layak. Di tengah gempuran PHK dan transformasi media digital, kita perlu memikirkan ulang: bagaimana menjadikan profesi ini mulia *tanpa mengorbankan hak-hak dasarnya*. Sebab, tanpa kesejahteraan, independensi jurnalis hanyalah ilusi.***