
Beritamerdeka.co.id – Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) semestinya menjadi kanal utama untuk menyerap dan mewujudkan aspirasi masyarakat di daerah. Dalam semangat demokrasi perwakilan, Pokir adalah jembatan yang menghubungkan kebutuhan riil konstituen dengan kebijakan dan alokasi anggaran pemerintah daerah. Namun, dalam praktiknya, Pokir seringkali menjadi arena carut marut yang jauh dari esensi awalnya, bahkan terkesan menjadi “bancakan anggaran” yang merugikan rakyat.
Pokir adalah usulan program dan kegiatan yang disusun berdasarkan hasil penyerapan aspirasi masyarakat melalui reses anggota DPRD. Mekanisme ini idealnya memastikan bahwa setiap rupiah anggaran yang dialokasikan benar-benar menyentuh persoalan mendasar di tengah masyarakat, seperti infrastruktur yang rusak, layanan publik yang minim, atau pemberdayaan ekonomi lokal. Sayangnya, berbagai laporan dan temuan di lapangan menunjukkan bahwa Pokir kerap dibelokkan dari tujuan mulianya.
Beberapa indikasi yang menunjukkan carut marut Pokir antara lain:
* Proyek Titipan dan Nepotisme
Tidak jarang Pokir dimanfaatkan untuk menggolkan proyek-proyek yang tidak sesuai dengan skala prioritas kebutuhan masyarakat, melainkan hanya mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu, atau bahkan sanak famili. Proyek “titipan” ini seringkali diwarnai oleh praktik kolusi dan nepotisme, di mana pelaksana proyek sudah ditentukan sejak awal tanpa melalui proses tender yang transparan.
* Mark Up Anggaran
Salah satu masalah klasik dalam pengelolaan anggaran adalah mark up. Proyek-proyek Pokir rentan terhadap praktik ini, di mana nilai proyek digelembungkan jauh di atas harga wajar, sehingga menimbulkan kerugian negara dan pada akhirnya merugikan masyarakat. Dana yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk lebih banyak program pembangunan justru menguap akibat selisih harga yang tidak masuk akal.
* Dominasi Kepentingan Pribadi/Golongan
Pokir yang seharusnya mencerminkan aspirasi kolektif konstituen seringkali didominasi oleh kepentingan pribadi atau golongan anggota dewan. Program yang diusulkan hanya berputar di lingkungan tertentu atau hanya menguntungkan konstituen yang “loyal” secara politik, tanpa mempertimbangkan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah daerah pemilihan.
* Minimnya Pengawasan dan Akuntabilitas
Proses penyusunan, penetapan, hingga pelaksanaan Pokir seringkali minim pengawasan yang ketat dari berbagai pihak, baik internal maupun eksternal. Akibatnya, potensi penyimpangan semakin besar. Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban yang tidak transparan juga mempersulit masyarakat untuk memantau sejauh mana Pokir benar-benar direalisasikan dan memberikan manfaat.
* Proyek “Ambyar” dan Tidak Berkelanjutan
Banyak proyek hasil Pokir yang dibangun tanpa perencanaan matang atau tidak memiliki keberlanjutan. Misalnya, pembangunan fasilitas yang kemudian terbengkalai karena tidak ada alokasi anggaran untuk perawatan atau tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat setempat. Ini menunjukkan bahwa fokusnya lebih pada penyerapan anggaran daripada penciptaan manfaat jangka panjang.
Carut marut Pokir ini memiliki dampak yang sangat merugikan. Pertama, merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Ketika Pokir yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat justru digunakan untuk kepentingan sempit, masyarakat akan semakin apatis dan sinis terhadap proses demokrasi.
Kedua, pembangunan yang tidak merata dan tidak efektif. Anggaran daerah yang terbatas menjadi tidak optimal dalam mendorong kesejahteraan masyarakat karena banyak dana yang bocor atau dialokasikan untuk program yang tidak prioritas.
Ketiga, melanggengkan praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang, yang pada akhirnya menghambat kemajuan daerah secara keseluruhan.
Untuk mengembalikan Pokir pada marwahnya sebagai instrumen aspirasi rakyat, diperlukan langkah-langkah konkret:
* Transparansi Penuh: Seluruh tahapan Pokir, mulai dari usulan, pembahasan, penetapan, hingga pelaksanaan dan pelaporan, harus dibuka seluas-luasnya kepada publik. Data dan informasi terkait Pokir harus mudah diakses oleh masyarakat.
* Partisipasi Publik yang Bermakna: Libatkan masyarakat secara aktif dalam penyusunan prioritas usulan Pokir, tidak hanya melalui reses formal. Platform digital bisa dimanfaatkan untuk menampung aspirasi dan masukan dari berbagai elemen masyarakat.
* Pengawasan Ketat dan Independen: Peran lembaga pengawas, baik Inspektorat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu diperkuat dalam mengawasi pelaksanaan Pokir. Sanksi tegas harus diterapkan bagi pelanggar.
* Sistem Perencanaan yang Terintegrasi: Pokir harus benar-benar terintegrasi dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara utuh, bukan sekadar tempelan. Usulan Pokir harus didasarkan pada data dan kajian yang kuat tentang kebutuhan masyarakat.
* Peningkatan Integritas Anggota Dewan: Anggota dewan harus memiliki komitmen kuat untuk mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan. Pendidikan dan pelatihan etika politik serta pemahaman tentang tata kelola pemerintahan yang baik perlu terus ditingkatkan.
Pokir adalah amanah. Jangan biarkan amanah ini menjadi alat untuk bancakan anggaran yang hanya memperkaya segelintir elite. Sudah saatnya Pokir dikembalikan pada khitahnya sebagai alat perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat di daerah. Ini adalah tugas bersama, baik bagi para wakil rakyat, pemerintah daerah, maupun masyarakat sendiri sebagai pemegang kedaulatan. (Ade Windiarto, Pemimpin Redaksi BeritaMerdeka.co.id).***