
Beritamerdeka.co.id – Untuk memperjelas dan mengakuratkan sistem pengelolaan administrasi serta manajemen haji, perlu ada sinkronisasi aturan pelaksanaan ibadah haji antara pemerintah Indonesia dengan Arab Saudi.
Hal itu disampaikan oleh Anggota DPR RI Fraksi PKS, Dr. Abdul Fikri Faqih, saat memberikan keterangan pers terkait evaluasi pelaksanaan ibadah haji, pada Rabu 18 Juni 2025.
“Saya sudah menyampaikan tentang isu global, bagaimana harus ada sinkronisasi
antara aturan di Arab Saudi dengan Siskohat di Indonesia. Atau mungkin nanti aplikasi yang akan disosialisasikan oleh Kementerian Haji Arab Saudi,” ujar Anggota Komisi VIII DPR RI, yang menangani urusan haji.
Lebih lanjut menurut Fikri, secara teknikal pengelolaan syarikah ternyata tidak ada komunikasi yang lancar sehingga terjadi banyak permasalahan, baik masalah pemondokan atau mungkin juga akomodasi, transportasi dan sebagainya.
“Antara suami, istri, pembimbing, dan jamaahnya, atau pendamping dengan yang didampingi, dan sebagainya harus ada format yang jelas, dan nanti format ini harus dinormalkan,” tegasnya.
Fikri menambahkan, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang saat ini sedang direvisi, akan ada beberapa poin yang harus dikaji ulang baik secara teknikal maupun isu aktual lainnya.
Termasuk terkait dengan Masar Nusuk, yaitu sistem atau platform resmi yang digunakan oleh Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi untuk mengatur dan mengelola berbagai aspek ibadah haji, baik pendaftaran, perizinan, dan layanan terkait.
“Tentang isu aktual, jadi isu global, serta isu teknikal. Isu aktualnya itu karena Arab Saudi akan menerapkan single system.
Single systemnya itu aplikasi yang namanya Masar Nusuk, tidak hanya umrah tetapi haji juga,” jelas Fikri.
“Jadi nanti kendala-kendala seperti kesehatan yang ditutup dan sebagainya nanti bisa buka rumah sakit Indonesia yang ada di sana untuk melayani masyarakat yang haji atau yang umrah,” imbuhnya.
Terkait permasalahan birokrasi di daerah, Fikri menyebut kurang optimalnya TPHD (Tim Pembimbing Haji Daerah) menjadi PR tersendiri bagi pemerintah daerah maupun Kemenag.
“Yang perlu saya garis bawahi adalah bahwa memang TPHD itu di sana dikeluhkan karena tidak terlalu banyak manfaat. Apalagi banyak problematika seperti sekarang ini, pembimbing yang tidak bisa Bahasa Arab maupun kurang paham dalam hal pelaksanaan ibadah haji,” tandas Fikri.
Ia juga meminta pemerintah daerah ke depan memberangkatkan TPHD bukan sembarang orang, tetapi yang punya kualifikasi yang dibutuhkan di sana supaya nanti meringankan jamaah yang beribadah.
“Perlu ada aturan khusus soal petugas dari daerah. Harus ada regulasi pusat lewat undang-undang. Tapi kalau lebih detail, saya kira bisa saja nanti perda atau perbup yang mengatur soal itu,” terangnya.***