
Arab Saudi resmi menutup celah masuk ke Makkah tanpa visa haji dan syarikah. Indonesia pun harus berbenah: menyatukan budaya kekeluargaan dengan sistem logistik ibadah yang profesional.
Oleh: Ulul Albab

Beritamerdeka.co.id – Tahun ini, Makkah tak bisa lagi ditembus dengan cara lama. Tak ada lagi “jalur tikus”, tak ada lagi rombongan ziarah yang mendadak bisa jadi jemaah haji. Semua harus resmi. Harus visa haji. Harus melalui perusahaan resmi Arab Saudi: syarikah.
Mulai 29 April 2025, aturan keras itu berlaku. Petugas di gerbang Kota Suci tidak akan bertanya siapa Anda, dari mana, atau sudah berhaji berapa kali. Yang ditanyakan hanya satu: mana visa hajinya? Kalau tidak ada: pulang!
Arab Saudi ingin ibadah haji tertib. Tak ada lagi jemaah nyasar. Tak ada lagi orang tua yang tersesat karena tertinggal dari rombongan. Mereka ingin setiap jemaah tahu siapa penanggung jawabnya. Dan itu hanya mungkin jika mereka masuk Makkah lewat sistem baru: melalui kartu Nusuk dan dikoordinasi oleh salah satu dari delapan syarikah.
Satu Syarikah, Satu Kloter
Inilah yang membuat Kementerian Agama RI agak kelimpungan. Sistem baru ini berbenturan langsung dengan kultur kita. Di Indonesia, kloter haji disusun seperti arisan keluarga. Yang penting berangkatnya bersama, tak peduli syarikah-nya berbeda.
Masalahnya: aturan Arab Saudi tidak mengenal kompromi budaya. Satu kloter, satu syarikah. Tidak bisa dicampur. Kalau dicampur, mereka bisa tertahan di Madinah atau malah gagal masuk Makkah.
Itulah yang terjadi pekan ini: 220 jemaah Indonesia tertahan di Madinah karena tidak sesuai dengan skema syarikah. Untungnya, semua akhirnya bisa diberangkatkan setelah 13 coaster dikerahkan. Tapi itu bukan akhir masalah. Ini baru awal gelombang kedua.
Logika Pemerintah Saudi
Aturan baru ini bukan semata-mata soal birokrasi. Ada alasan keamanan dan ketertiban. Arab Saudi setiap tahun menerima lebih dari 2 juta jemaah haji. Banyak di antaranya lanjut usia, berkebutuhan khusus, atau tidak paham teknologi.
Kalau setiap orang bisa masuk Makkah tanpa sistem yang tertata, risikonya besar. Bisa terjadi penumpukan di Arafah, kekacauan logistik, bahkan tragedi.
Arab Saudi ingin menghindari itu. Dan satu-satunya cara adalah memastikan setiap jemaah masuk dalam ekosistem layanan yang jelas: visa resmi, syarikah resmi, dan petugas resmi.
Yang Sulit Bukan Aturan, tapi Budaya
Tantangan kita bukan pada regulasi Arab Saudi, tetapi pada budaya kita sendiri. Kita terlalu longgar dalam menyusun kloter. Terlalu fleksibel mengakomodasi permintaan keluarga, tetangga, atau jemaah pengajian. Akibatnya, ketika harus masuk sistem resmi yang kaku, kita kelabakan.
Dirjen PHU, Hilman Latief, bahkan harus menahan keberangkatan beberapa orang agar mereka bisa masuk dalam koordinasi syarikah-nya. Ini langkah yang tidak populer, tapi perlu.
DPR juga sudah angkat suara. Ketua Komisi VIII, Marwan Dasopang, meminta sistem kloter diperbaiki. “Jangan sampai jemaah terpisah dari pasangan atau pendampingnya hanya karena beda syarikah,” katanya.
Menuju Haji yang Profesional
Mungkin memang sudah saatnya kita memperlakukan ibadah haji secara profesional. Bukan hanya sebagai ibadah spiritual, tetapi juga sebagai operasi logistik skala raksasa. Maka, semua aspek harus dikelola dengan pendekatan modern: sistem data tunggal, manajemen risiko, dan koordinasi lintas otoritas.
Tahun ini adalah ujian. Tapi juga peluang. Kalau bisa kita lewati dengan baik, tahun depan kita bisa lebih siap. Kita bisa mulai menyusun kloter sejak awal dengan satu prinsip baru: satu kloter, satu syarikah, satu sistem.
Mekah memang tak lagi bisa ditembus sembarangan. Tapi jika kita bisa menyesuaikan diri, kita tak hanya masuk Mekah, melainkan bisa menunaikan haji dengan lebih tertib, lebih manusiawi, dan lebih bermartabat.
Masukan Strategis dari Amphuri
Kami dari Litbang DPP Amphuri memandang kebijakan baru Arab Saudi ini sebagai momentum penting untuk melakukan reformasi total penyelenggaraan ibadah haji nasional. Ada beberapa masukan dan usulan yang kami ajukan.
Untuk pemerintah dan Kemenag, kami mengusulkan:
Membangun sistem data haji yang lebih adaptif, terintegrasi sejak awal antara proses pelunasan, visa, syarikah, dan kloter. Sistem ini harus berbasis digital, real time, dan terkoneksi langsung dengan otoritas Arab Saudi.
Menjalin diplomasi reguler dan aktif dengan otoritas Saudi, agar Indonesia sebagai negara pengirim jemaah terbesar mendapat ruang partisipasi dalam pembentukan kebijakan teknis.
Menyusun kloter berbasis syarikah sejak awal, tanpa mengabaikan aspek sosial-kultural seperti pasangan suami-istri atau pendampingan lansia, agar tak lagi terjadi pemisahan jemaah seperti tahun ini.
Melakukan sosialisasi masif dan terjadwal, baik kepada jemaah reguler maupun jemaah khusus, agar memahami aturan terbaru dan tidak tertinggal informasi penting saat masa keberangkatan.
Untuk DPR RI, kami mendorong
Penguatan pengawasan lintas fungsi dan daerah, agar implementasi prinsip “satu syarikah–satu kloter” tidak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar terlaksana.
Pengawalan terhadap harmonisasi regulasi, termasuk kemungkinan revisi teknis UU Haji jika memang dibutuhkan dalam konteks globalisasi dan digitalisasi layanan haji.
Untuk jemaah haji yang sedang dan akan berangkat, kami berpesan
Tetap tenang, sabar, dan percaya pada sistem resmi yang ditetapkan pemerintah. Hindari perjalanan dengan jalur tidak resmi atau pihak yang tidak memiliki legalitas.
Selalu bawa dokumen resmi, kartu identitas, dan informasi kontak petugas haji. Jaga komunikasi dalam rombongan.
Yang paling penting, jangan biarkan perubahan sistem mengusik kekhusyukan hati. Sebab pada akhirnya, haji bukan soal visa, bukan soal syarikah, tapi soal hati yang terpaut pada panggilan Allah Swt. ***
(Penulis : Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (DPP AMPHURI).
Artikel ini sudah diangkat tagar.co