
BeritaMerdeka.co.id – Danantara atau Daya Anagata Nusantara akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Didirikan pada 24 Februari 2025, Danantara merupakan lembaga dana investasi pemerintah yang dibentuk langsung oleh negara dengan tujuan mengonsolidasi dan mengoptimalkan investasi pemerintah demi mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Tujuan utama pembentukan Danantara adalah untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan perusahaan BUMN, mengoptimalkan penerimaan dividen, serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Lembaga ini juga dibentuk untuk menghadirkan sistem pengelolaan aset negara yang lebih profesional dan terfokus.
Kewenangan Danantara antara lain:
- Mengelola dividen dari holding investasi, holding operasional, dan BUMN.
- Menyetujui permintaan penambahan dan/atau pengurangan penyertaan modal pada BUMN yang berasal dari dividen.
- Bersama Menteri BUMN, membentuk holding investasi dan holding operasional.
- Bersama Menteri BUMN, menyetujui usulan penghapusan buku dan/atau penghapusan tagih aset BUMN yang diajukan oleh holding operasional atau investasi.
- Menerima dan memberikan pinjaman, serta mengagunkan aset atas persetujuan Presiden.
- Mengesahkan dan mengonsultasikan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) induk investasi dan induk operasional kepada DPR RI.
Namun, sejak pembentukannya, Danantara menuai banyak kontroversi. Salah satu isu yang paling disorot adalah tidak dianggapnya kerugian Danantara sebagai kerugian negara. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat mengaudit langsung arus keuangan dan aset BUMN yang telah dikelola Danantara. Proses audit hanya dapat dilakukan atas izin dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang menimbulkan keraguan akan transparansi dan akuntabilitas lembaga ini.
Kekhawatiran masyarakat juga semakin menguat dengan keterlibatan tokoh-tokoh kontroversial dalam jajaran kepengurusan. Dewan Penasihat Danantara dikabarkan akan melibatkan Thaksin Shinawatra, mantan Perdana Menteri Thailand yang dikenal memiliki rekam jejak skandal korupsi di negaranya.
Selain itu, dua Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, juga akan duduk sebagai penasihat. Yang menjadi sorotan adalah keterlibatan Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, dalam holding operasional Danantara. Publik menilai bahwa keterlibatan keluarga presiden menimbulkan potensi konflik kepentingan, mengingat pengaruh mereka yang semakin luas di berbagai sektor pemerintahan dan bisnis.
Kecurigaan publik semakin dalam setelah Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengadakan pidato tertutup di Gedung Danantara pada 28 April 2025. Pers dan wartawan tidak diperkenankan hadir dalam acara tersebut, memicu spekulasi mengenai isi pidato dan agenda tersembunyi di baliknya.
Pembentukan Danantara memang membawa harapan baru terhadap pengelolaan investasi negara yang lebih strategis dan terfokus. Namun, kekhawatiran publik terhadap potensi konflik kepentingan, kurangnya transparansi, serta terbatasnya mekanisme pengawasan menjadi tantangan serius yang harus dijawab oleh pemerintah.
Keterlibatan tokoh-tokoh bermasalah dan adanya dugaan pengaruh politik yang kuat semakin memperkuat persepsi negatif masyarakat. Agar Danantara benar-benar menjadi lembaga yang berpihak pada kepentingan rakyat dan bukan menjadi instrumen kekuasaan segelintir elit, diperlukan pengawasan ketat, keterbukaan informasi, serta komitmen kuat terhadap akuntabilitas. Hanya dengan cara itu, kepercayaan publik terhadap Danantara dapat terbangun dan dijaga. ***