
Saatnya Menata Ulang Sistem Penerimaan Murid Baru Demi Pendidikan yang Lebih Adil
Oleh: Ade Windiarto (Pemimpin Redaksi Beritamerdeka.co.id)
Beritamerdeka.co.id – Setiap tahun ajaran baru, wacana seputar pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) atau yang sekarang diganti menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), selalu menjadi sorotan publik. Sistem ini, yang seharusnya menjadi jembatan bagi setiap anak bangsa untuk memperoleh pendidikan yang layak, justru kerap menimbulkan polemik, mulai dari persoalan zonasi atau domisili hingga dugaan kecurangan administratif.
Hal ini menandakan bahwa sudah saatnya kita meninjau ulang secara serius kebijakan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), agar sejalan dengan semangat keadilan dan pemerataan akses pendidikan yang dijamin oleh konstitusi.
Kebijakan zonasi atau domisili, yang beberapa tahun terakhir menjadi pilar utama dalam SPMB, awalnya dirancang untuk menghapus dikotomi sekolah favorit dan non-favorit. Pemerintah berharap siswa bisa bersekolah di tempat terdekat dari tempat tinggalnya, sehingga terjadi pemerataan kualitas pendidikan.
Namun dalam praktiknya, sistem ini masih menyisakan banyak masalah. Banyak orang tua merasa dibatasi haknya dalam memilih sekolah terbaik untuk anaknya, terutama jika mereka tinggal di wilayah yang minim fasilitas pendidikan bermutu.
Alih-alih menciptakan pemerataan, sistem zonasi justru menimbulkan kecemasan baru: bagaimana jika sekolah di zona tempat tinggal anak tidak mampu menyediakan layanan pendidikan yang optimal? Ketimpangan kualitas antar sekolah masih menjadi persoalan krusial. Hal ini diperparah dengan tidak meratanya distribusi guru berkualitas, fasilitas belajar yang timpang, serta minimnya pengawasan terhadap pelaksanaan proses belajar-mengajar.
Sistem afirmasi dan jalur prestasi yang dimaksudkan sebagai solusi tambahan pun belum sepenuhnya berjalan efektif. Meskipun kebijakan afirmasi memberikan peluang bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu atau kelompok rentan, dalam praktiknya masih sering dijumpai penyalahgunaan dokumen kependudukan, hingga manipulasi data ekonomi demi mengakses jalur ini. Jika tidak diikuti dengan sistem verifikasi yang kuat, niat baik dari kebijakan afirmasi hanya akan menjadi celah baru untuk ketidakadilan.
Oleh karena itu, pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap SPMB. Evaluasi ini tidak cukup hanya dari sisi teknis administrasi, tetapi juga menyentuh aspek substansial: pemerataan kualitas pendidikan itu sendiri. Kebijakan penerimaan tidak akan berarti jika masih ada jurang lebar antara sekolah satu dengan lainnya. Investasi dalam peningkatan kualitas guru, pemerataan sarana dan prasarana, serta insentif bagi sekolah di wilayah tertinggal harus menjadi prioritas.
Lebih jauh lagi, pelibatan publik sangat penting dalam pembenahan sistem ini. Orang tua, tokoh masyarakat, serta organisasi pendidikan harus dilibatkan dalam forum-forum evaluasi kebijakan pendidikan, termasuk dalam menyusun ulang mekanisme SPMB agar lebih akuntabel dan transparan. Tanpa partisipasi aktif masyarakat, kebijakan yang dibuat akan terus berjarak dari realitas di lapangan.
Pendidikan adalah hak setiap warga negara, bukan hak istimewa bagi mereka yang tinggal di zona yang “beruntung” atau memiliki akses terhadap informasi dan sumber daya lebih. Jika sistem penerimaan murid baru tidak segera ditata ulang, maka risiko terbesar bukan hanya pada ketimpangan pendidikan, tetapi juga pada rusaknya kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan nasional kita.
Sudah saatnya SPMB menjadi instrumen keadilan sosial, bukan sebaliknya. Pendidikan harus menjadi alat pemutus rantai ketimpangan, bukan alat yang memperpanjangnya.***